Jumat, 23 Maret 2012

TUGAS softskill kasus pajak hal 3

Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh pemerintah yang berkuasa dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, di negara ini telah ada badan penyelesaian sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor 707) dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad 1927 Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van het Beroep in Belastingzaken). Selanjutnya, lembaga tersebut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 diubah menjadi Majelis Pertimbangan Pajak yang tugasnya memberi keputusan atas surat pemeriksaan banding tentang pajak-pajak negara dan pajak-pajak daerah. Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983, MPP diberlakukan sebagai badan peradilan pajak yang sah dan tidak bertentangan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun 1970. UU Nomor 6 Tahun 1983 mengatur hal ini dalam Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut.“Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.”
Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut.
“Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.”
Seiring berkembangnya aturan mengenai pajak dan semakin meningkatnya potensi sengketa pajak, MPP dianggap sudah tidak memadai dalam melakukan penyelesaian sengketa pajak. Oleh sebab itu, pemerintah merasa perlu membentuk lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih komprehensif dan dibentuk melalui undang-undang. Tujuannya adalah menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak sesuai dengan undang-undang bidang perpajakan serta memberikan putusan hukum atas sengketa pajak. Putusan lembaga peradilan pajak dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan undang-undang perpajakan sehingga ketentuan-ketentuan di dalamnya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak.
Maka, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang arah dan tujuan pembentukannya adalah sebagai berikut.
a. BPSP bertugas memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa:
1. banding terhadap pelaksanaan keputusan pejabat yang berwenang;
2. gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang penagihan.
b. Putusan BPSP bersifat final dan mempunyai kekuasaan eksekutorial dan berkedudukan hokum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
c. Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi pembayar pajak dan putusannya tidak dapat digugat ke peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam undang-undang tersebut juga ditentukan bahwa untuk mendapatkan keadilan pengenaan pajak, wajib pajak dapat menempuh jalur-jalur sebagai berikut.
a. Jalur keberatanpajak dan banding ke BPSP.
b. Jalur melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
c. Jalur melalui peradilan umum.
Ditentukan pula keberadaan BPSP sebagai badan peradilan pajak hanya untuk menyelesaikan sengketa administratif, yaitu dari segi perhitungan dan akuntansi, bukan mengenai pidana pajak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar